Rabu, 30 November 2011

Fenomena Anak Jalanan Kota Medan ; Prolematika dan Solusinya

(Sebuah studi tematik terhadap permasalahan Anak Jalanan;
Antara tuntutan dan kebebasan hidup)

Oleh
Andriansyah, S. Sos
General Coordinator Save Street Child Medan
Email : Riyan_m0eslim@yahoo.co.id
Contac Mobile : 0853 1171 7087


Abstrak: Keberadaan anak jalanan di Kota Medan telah menjadi fenomena yang kerap kali menimbulkan berbagai respon dari masyarakat, baik itu positif maupun negatif. Dibalik keberagaman fenomena yang dihadirkan oleh anak jalanan kota Medan, terdapat banyak sisi latarbelakang yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Penelitian kualitatif deskriptif ini membuktikan bahwa berbagai persoalan telah hadir sebelum seorang anak memutuskan untuk menjadi seorang anak jalanan. Latar belakang ekonomi menjadi alasan paling dominan adanya anak jalanan. Kemudian kurang harmonisnya hubungan dengan keluarga menjadi faktor selanjutnya seorang anak memutuskan menjadi anak jalanan. Sebuah tuntutan hidup yang mesti ditempunya demi keberlangsungan hidup. Selain dari itu, seorang anak juga memutuskan untuk menjadi anak jalanan hanya karena ingin mencari kebebasan dalam hidupnya, ingin menyalurkan bakat dan hidup mandiri diluar rumah. Fenomena anak jalanan di kota Medan hadir karena berbagai faktor yang sangat beragam, hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak terkait dalam mencari solusi dalam penanganan anak jalanan di kota medan. Karena permasalahan anak jalanan adalah permasalahan yang sangat kompleks, harus banyak opsi dalam mencari solusi penyelesaiannya.

Kata Kunci : anak jalanan kota Medan, orang tua, keluarga, problematika, solusi

Pendahuluan

Pada umumnya, setiap orang menginginkan seorang anak sebagai pelanjut keturunan dan penyambung cita-cita mereka. Namun, tercapai atau tidaknya suatu cita-cita perjuangan orang tua sangat tergantung pada anak mereka, dan kualitas anak-anak mereka sebagai penerus cita-cita perjuangan tersebut. Anak-anak yang mampu melanjutkan cita-cita orang tua, bahkan cita-cita suatu bangsa adalah anak yang memiliki sumber daya bersaing yang tinggi, seperti berbadan sehat dan kuat, terampil, berpendidikan, bercita-cita tinggi, berakhlak mulia, taat kepada peraturan Allah Swt dan rasul-Nya, serta memahami Tuhan sebagai pencipta segala keberadaan.[1] Untuk memperoleh generasi seperti itu, maka negara, masyarakat, dan orangtua harus menjamin terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan anak-anaknya, serta memberikan perhatian, perlindungan, pendidikan dan kebutuahan psikologi anak-anak tersebut secara utuh, seimbang dan berkesinambungan.
Meskipun perlindungan anak sudah diatur secara Undang-Undang, dan pendidikan anak telah diatur dan diprogramkan oleh pemerintah melalui wajib belajar 9 tahun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua orangtua mempersiapkan anak-anak mereka dengan baik. Banyak orangtua, baik secara sengaja maupun tanpa sadar, telah menjadikan anak-anak mereka sebagai pekerja, bahkan anak jalanan. Buktinya semakin banyaknya anak-anak yang mengisi setiap sudut persimpangan jalan dan traffic ligth. Dan disini para orangtua menjadi penonton serta pengawas atas aktivitas mereka.
Masalah krusial bagi mereka yang hidup di jalanan ini adalah mereka yang tergolong usia muda. Seharusnya, mereka tidak berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi mereka harus membekali diri mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan untuk masa depan mereka. Sebab, mereka adalah harapan bangsa. Karena itu, idealnya mereka harus diberikan berbagai kemampuan, baik kemampuan fisik maupun psikis. Semestinya, mereka mengeyam pendidikan terlebih dahulu dan menggapai cita-citanya tanpa harus berjuang memperoleh rezeki. Kenyataan bahwa semua ini tidak bisa mereka dapatkan, maka anak jalanan selalu berpikir economic oriented (berorientasi kepada pencarian harta), tanpa memikirkan aspek-aspek lain untuk dapat melihat masa depan lebih baik dan berkehidupan lebih layak.
Hadirnya fenomena anak jalanan di kalangan masyarakat, selain disebabkan oleh faktor problema kehidupan sosial seperti keadaan ekonomi, pendidikan, dan kelurga, juga sangat dimungkinkan muncul akibat tidak tersalurnya bakat yang mereka miliki serta kebebasan mereka yang tertekan dilingkungan keluarganya. Dan dalam hal itu faktor dari orang tua dan keluarga menjadi yang paling dominan. Sebab, kebutuhan seorang anak tidak hanya terletak pada kebutuhan primer saja, tetapi kebutuhan sekunder juga, yaitu kebutuhan psikologis yang juga sangat penting. Kebutuhan tersebut dapat mencakup kebutuhan untuk mengembangkan kepribadian seseorang, contohnya adalah kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan mengaktualisasikan diri, atau kebutuhan untuk memiliki sesuatu, di mana kebutuhan psikologis tersebut bersifat lebih rumit dan sulit diidentifikasi segera. Begitu juga dengan anak jalanan tersebut, untuk dapat memupuk harga diri, perilaku dan aktualisasi dirinya, pertimbangan mengenai keunggulan dan kelemahan serta kebutuhan anak jalanan tersebut perlu dilakukan.
Selanjutnya, pengalaman hidup menjadi anak jalanan dan kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi perspektif mereka tentang masa depan. Dengan demikian persepktif mereka tentang masa depan menjadi harapan hampa yang mungkin tidak dipikirkan. Mereka terlalu asyik dengan hidup di jalanan, bisa berbuat bebas, bisa makan, memiliki penghasilan sendiri. Sedang idealnya, seoarang anak jalanan akan menjadi dewasa, dan semakin dewasa akan semakin sedikit penghasilan yang didapat. Dampaknya mereka akan memanfaatkan anak jalanan yang masih kecil untuk menambah penghasilan mereka. Kalau sudah seperti ini, mata rantai anak jalanan akan terus berkelanjutan, dan pemikiran tentang kehidupan lebih layak diluar menjadi anak jalanan tidak akan pernah terpikirkan lagi.
Kita menyadari, tidak semua manusia memiliki status sosial yang tinggi, sebab ternyata sebagian manusia menyandang status sosial yang rendah. Dalam hal ini termasuk didalamnya status sosial anak jalanan. Para ahli telah banyak membahas masalah anak jalanan ini. Dari satu sisi, ada beberapa istilah yang kerap digunakan untuk merujuk kepada makna anak jalanan seperti tekyan, kedan, gelandangan, anak mandiri dan anak 505. Untuk anak jalanan berjenis kelamin perempuan, mereka sering disebut ciblek. Semua istilah ini menjadi istilah umum bagi penyebutan anak jalanan.[2]
Ada banyak defenisi tentang anak jalanan. Anak jalanan bisa diartikan sebagai mereka yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah dijalanan, atau kelompok anak yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, dan tempat tinggal mereka adalah alam terbuka, tidak memiliki hubungan dengan keluarga lagi, dan berkeliaran diberbagai tempat seperti pertokoan, stasiun, terminal, kolong jembatan dan taman kota;[3] atau pekerja informasi yang mana mereka bekerja dijalanan;[4] atau anak yang kegiatannya menyatu dengan jalanan kota; atau seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan waktu minimal 6 jam perhari dan 6 hari per minggu di jalanan dengan melakukan berbagai kegiatan tertentu untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya.[5] Dengan demikian, anak jalanan telah dipahami secara bervariasi, meskipun semua arti tersebut memiliki hakikat yang sama.
Dari sisi lain, para ahli telah melakukan pengelompokan terhadap anak jalanan. Ditinjau dari segi hubungan anak-anak jalanan dengan keluarganya, anak jalanan dibagi menjadi dua katagori, yaitu anak jalanan yang tumbuh di jalanan (children of the street), dan anak-anak yang ada di jalanan (children on the street). Anak-anak yang tumbuh di jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalanan, tidak memiliki rumah dan tidak pernah kontak dengan keluarganya. Umumnya mereka berasal dari keluarga berkonflik. Sedangkan anak-anak yang ada di jalanan adalah anak-anak yang berada sesaat di jalanan. Anak-anak dari katagori ini dibagi menjadi dua, yaitu kelompok anak dari luar kota, dan kelompok anak yang sesaat di jalan, dan masih tinggal bersama orang tua.
Ditinjau dari segi kepentingan, anak jalanan dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, anak yang berada di jalanan disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan, karena tidak memiliki orang tua maupun keluarga asuh, sehingga mereka harus mempertahankan hidup dengan mencari nafkah di jalanan. Kelompok ini disebut Anak Tanpa Pilihan. Kedua, anak berada di jalanan karena desakan ekonomi keluarga, dimana anak harus ikut menopang ekonomi keluarga. Kelompok ini disebut Anak Penopang Keluarga. Ketiga, anak berada di jalanan karena kondisi yang kurang menguntungkan, yang antara lain karena mendapat tekanan dari orang tua dan sarana penghidupan kurang memadai. Kelompok ini disebut Anak Kondisi Keadaan. Keempat, anak berada di jalanan karena hobi dan senang mencari uang serta sekedar ingin menyalurkan bakatnya. Kelompok ini disebut Anak Iseng di Jalanan.
Banyak para ahli meneliti tentang faktor-faktor penyebab kemunculan anak jalanan. Menurut mulandar, ada sejumlah penyebab dari fenomena anak yang bekerja antara lain adalah tekanan ekonomi keluarga, dipaksa orang tua, diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa, asumsi bahwa dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain, dan pembenaran budaya bahwa kecil anak harus bekerja.[6] Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa faktor-faktor penyebab anak turun ke jalan adalah kemiskinan keluarga, kesibukan orang tua, penolakan masyarakat karena cacat atau anak haram, rumah tangga yang berkonflik, dan salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia, serta faktor keinginan seorang anak untuk dapat mengekspresikan dirinya secara bebas. Menurut Whitemole dan Sutini bahwa sebab-sebab dan latar belakang dari anak jalanan adalah terkait dengan masalah ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua, hubungan dalam keluarga tidak harmonis, oran tua menjadikan anak sebagai sumber ekonomi, anak-anak mengisi peluang-peluang ekonomi jalanan secara individual maupun kelompok, dan adanya pihak yang mengorganisir anak-anak sebagai pekerja jalanan.[7] Sedangkan menurut Salahuddin, Faktor penyebab kemunculan anak jalanan adalah kekerasan dalam keluarga, dorongan keluarga, impian kebebasan, ingin memiliki uang sendiri dan pengaruh teman.[8] Namun, banyak pihak meyakini bahwa kemiskinan adalah faktor utama pendorong kemunculan anak jalanan.
Setiap individu dan kelompok manusia biasanya memiliki karakter tertentu. Dalam konteks anak jalanan ini, menurut Salahuddin, ada enam ciri anak jalanan, yaitu cepat tersinggung, mudah putus asa, tidak terbuka dan cepat murung, butuh kasih sayang, perbedaan latar belakang keluarga, suku dan agama, masih sangat labil, dan mereka memiliki suatu keterampilan.[9] Umumnya setiap anak jalanan memiliki watak seperti ini.
Anak jalanan, sebagai salah satu bentuk status sosial dalam masyarakat, memiliki pengalaman hidup secara silih berganti. Terkadang, mereka akan senang dan bahagia karena memperoleh rezeki diluar harapannya. Namun terkadang, batin mereka menderita dan tersiksa, karena dihina oleh masyarakat, atau bahkan cemburu dengan anak-anak lain yang hidup mewah dan mendapatkan kasih sayang dari orang tua mereka. Tentunya status sosial yang mereka miliki akan mempunyai hubungan dengan terbentuknya perspektif tentang masa depan yang akan mereka jalani. Terlepas dari faktor apapun mereka menjadi anak jalanan.
Sebagai sebuah karya ilmiah. Penelitian ini memiliki tiga tujuan pokok. Pertama, mengetahui faktor-faktor penyebab seorang menjadi anak jalanan. Kedua, mengetahui kegiatan dan pengalaman hidup anak jalanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketiga, mengetahui problematika anak jalanan serta menyusun instrumen solusi dalam penyelesaiannya.


Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dimana data atau informasi yang diperoleh kemudian dideskripsikan secara mendalam sehingga muncul makna yang hakiki. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena anak jalanan di kota Medan. Menemukan problematika didalamnya, serta menyusun instrumen solusi dalam penyelesaiannya, dengan mempertimbangkan faktor penyebab dari kemunculan anak jalanan antara tuntutan atau kebebasan hidup. Penelitian ini diyakini akan mampu mengumpulkan data dan menyesuaikan dengan konteks melalui studi tematik tentang fenomena anak jalanan di kota Medan.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan sebagai instrumen kunci. Peneliti mengamati secara berulang dan mencatat data secara teliti dan sistematis, serta menganalisis data tersebut secara induktif. Karena itu, dalam penelitian ini, setiap prilaku anak jalanan dideskripsikan sehingga ditemukan makna dari suatu temuan.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami makna perilaku manusia secara murni dalam situasi tertentu. Karena itu, penelitian kualitatif memiliki tiga pola dasar yaitu : 1) berbentuk siklus yaitu prosesnya dapat dilakukan berulang-ulang, 2) membuat catatan mengenai data, dan 3) menganalisis data yang dikumpulkan. Karena itu, dalam penelitian kualitatif, peneliti harus berpartisipasi dengan subyek penelitian. Sehubungan dengan keterlibatan peneliti sebagai partisipan, teknik yang digunakan untuk menghayati sistem makna (meaning system) antara lain adalah dengan melalui pengamatan berperan serta (observation partisipant), yaitu suatu pengamatan yang peneliti terlibat dalam penelitian itu. Pemahaman terhadap makna perilaku anak jalanan tentang problematika dan faktor-faktor fenomena anak jalanan diposisikan sebagai objek dan subjek yang memerlukan keterlibatan langsung seorang peneliti. Demikian juga implikasi yang ditimbulkan dari anak jalanan, baik secara historis, sosiologis, psikologis dan kultural, memungkinkan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
Adapun subjek penelitian ini adalah 8 orang anak jalanan di kota Medan, dengan usia antara 7 sampai 17 tahun, dan sudah terjun kejalanan minimal 2 tahun dari latar belakang yang berbeda. Adapun rincian sebagai berikut : Pertama, 4 orang dari kelompok anak jalanan yang melakukan aktifitas di jalanan (children on the street), tetapi mereka masih mempunyai hubungan dengan keluarganya. Keempat subjek ini masing-masing diberi kode CONS-1, CONS-2, CONS-3, dan CONS-4. Kedua, adalah 4 orang dari kelompok anak-anak yan seluruh waktunya berada dijalanan (children of the street), dan tidak memiliki hubungan dengan keluarganya. Keempat subjek ini masing-masing diberi kode COFS-1, COFS-2, COFS-3, dan COFS-4.
Dalam proses pengumpulan data, penelitian ini menggunakan tiga teknik. Pertama, melakukan wawancara mendalam dengan anak jalanan dengan usia 7-17 tahun. Kedua, melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait seperti Depatemen Sosial Kota Medan. Ketiga, pengkajian dokumen, yaitu mendapatkan data mengenai jumlah anak jalanan di Kota Medan.
Untuk memperkuat kesahihan data, penelitian ini menggunakan teknik yang meliputi: keterpecayaan (credibility), bisa ditransfer (transferability), bisa dipegang kebenarannya (dependability) dan bisa dikonfirmasikan (confirmability). Agar temuan dan interpretasi penelitian ini dapat dipercaya, maka dilakukan sejumlah cara yaitu 1) keikutsertaan peneliti dalam aktifitas anak jalanan dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa, 2) ketekunan pengamatan terhadap aktifitas anak jalanan, 3) melakukan triagulasi, yaitu informasi yang diperoleh dari beberapa sumber diperiksa silang antara data wawancara dengan pengamatan, dan sumber informasi yang diperoleh dari seorang informan akan dibandingkan dengan informasi dari informan lain, 4) mendiskusikan dengan para ahli dan rekan sejawat yang tidak berperan serta dalam penelitian, 5) analisis kasus negatif, yaitu menganalisis dan mencari kasus yang menyanggah temuan penelitian, sehingga tidak ada lagi bukti lain yang menolak temuan hasil penelitian, 6) pengujian ketepatan referensi terhadap data temuan dan interpretasi. Kemudian, peneliti akan semaksimal mungkin mendeskripsikan latar penelitian secara detail agar dapat menjadi acuan bagi karakteristik latar penelitian lain yang sejenis untuk membantu menjamin tingkat tranferability. Agar data penelitian ini dapat diandalkan (dependability), maka diusahakan semaksimal mungkin untuk konsisten dalam keseluruhan proses penelitian. Setiap aktifitas akan dicatat dalam bentuk memo untuk membantu proses analisis data. Kamera akan digunakan sebagai alat bantu dalam pengumpulan data, sedangkan alat perekam akan digunakan sebagai alat bantu keterandalan dan untuk menghindari bias interpretasi. Selain itu, aktifitas cross-checking dan trigulasi akan digunakan dalam proses analisis data untuk membantu usaha menjamin tingkat confirmability.
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan data sesuai dengan tujuan dan kedalaman yang menjadi fokus penelitian ini. Untuk selanjutnya, deskripsi data tersebut akan diinterpretasikan secara lebih mendalam lagi.

Hasil dan Pembahasan
Subjek penelitian ini adalah 8 orang anak jalanan di kota Medan, yang terdiri atas 4 orang dari kelompok Children on the Street, yaitu anak-anak jalanan yang memiliki keluarga di Medan, dan 4 orang dari kelompok Children of the Street, yaitu anak-anak jalanan yang tidak memiliki keluarga di Medan. Anak-anak jalanan dari kelompok pertama diberi kode CONS, dan anak-anak jalanan dari kelompok kedua diberi kode COFS.

Faktor-faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan
CONS-1 adalah anak berusia 12 tahun. Ia masih memiliki kedua orang tua, dan anak keempat dari enam bersaudara. Saudara tertuanya adalah perempuan dan telah menikah, saudara keduanya juga perempuan namun tidak diketahui keberadaannya. Saudara ketiganya adalah lelaki dan tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan saudara kelimanya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), dan saudara terakhir masih berusia 3 tahun. Menurut informasi darinya, ayahnya tidak memiliki pekerjaan, dan suka mabuk-mabukan. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai tukang cuci tetangganya. Karena penghasilan ayahnya tidak ada, dan gaji ibunya tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka ia dipaksa ayahnya berjualan. Jika ia menolak dan pendapatannya kurang, maka ayahnya sering marah-marah dan terkadang memukulinya. Karena itulah, akhirnya CONS-1 menjadi anak jalanan.
CONS-2 adalah anak usia 15 tahun, dan seorang yatim. Ibunya adalah seorang guru honor di sebuah SD swasta. Ia adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Adik-adiknya masih sekolah dibangku SD. Ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas ketika membawa truk pengangkutan ke Jakarta sekitar 2 tahun yang lalu. Sejak itulah ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan gaji cukup kecil. Sebagai anak pertama, ia harus membantu ibunya, dan karena tidak memiliki kemampuan tertentu, ia memilih untuk menjadi anak jalanan.
CONS-3 adalah seorang anak berusia 9 tahun, anak pertama dari 3 bersaudara. Adik keduanya berusia 6 tahun dan adik bungsunya berusia 4 tahun. Ia sudah 2 tahun menjadi anak jalanan. Ibunya meninggal 3 tahun yang lalu, dan ayahnya telah menikah lagi. Ibu tirinya suka memarahi bahkan memukulinya. Kondisi keluarga seperti itu membuatnya tidak tahan di rumah, dan karena itulah ia mulai menjadi anak jalanan.
CONS-4 adalah seorang anak perempuan berusia 16 tahun. Anak bungsu dari 4 bersaudaranya. Kehidupan keluarganya secara finasial cukup memadai. Tetapi kebebasannya sangat tertekan dengan segala peraturan yang ada dirumah. Pergaulannya dengan anak funk didaerahnya menjadikannya lebih sering hidup di jalanan. Menurut pengakuannya, ia lebih nyaman ketika beraktifitas di jalanan. Saat ini anak tersebut duduk dikelas XI SMA. Demi menyalurkan bakat bermain gitarnya dan kondisi kelurga yang tidak mendukung hobinya. Akhirnya ia memilih untuk menjadi anak jalanan.
COFS-1 adalah anak berusia 8 tahun. Seoarang anak tunggal, tetapi tidak pernah mengenal ayahnya. Dari pengakuannya, ia tertinggal di sebuah bus ketika masih balita. Ia tidak mengetahui secara pasti alasannya, apakah sengaja atau tidak ditinggal ibunya. Menurutnya, ia sudah ada dipersimpangan lampu merah di Aksara Medan, karena supir bus menurunkannya. Kini, ia tidak mengetahui posisi ibunya dan dari mana asalnya. Namun, ia masih sangat ingat wajah ibunya, dan meyakini tetap bisa mengenalinya ketika bertemu lagi.
COFS-2 adalah seorang anak dari Nias berusia 13 tahun. Sekitar 5 tahun yang lalu, rumahnya terbakar dan peristiwa kebakaran tersebut membuat fisiknya cacat terbakar. Ia menjadi anak jalanan karena terpisah atau mungkin sengaja ditinggal orang tuanya. Dari pengakuannya, ia merasa sengaja dibuang oleh orang tuanya ketika orang tuanya hendak pindah ke tempat lain. Kini, ia tidak mengetahui keberadaan keluarganya. Akhirnya, terpaksa ia menjadi anak jalanan, tanpa orang tua dan keluarga.
COFS-3 adalah seorang anak berusia 16 tahun. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang buruh di perkebunan kelapa sawit. Ia sudah menjadi anaka jalanan selama 7 tahun. Awalnya, ia tinggal bersama orang tuanya di Riau. Ekonomi keluarganya serba kekurangan. Ketika berhenti sekolah dan menjadi pengangguran, ia berteman dengan anak jalanan didaerahnya, sehingga ia terbiasa hidup dijalanan. Pada suatu sore, ketika ia pulang dari jalanan, tanpa sengaja ia melihat sepatu tetangganya di teras rumah, dan tanpa berpikir panjang, ia mengambil sepatu itu dan menjualnya. Beberapa hari kemudian, tetangga tersebut mengetahui bahwa sepatu dicuri olehnya. Sebab itu, orang tuanya marah dan memukulinya karena dianggap telah membuat malu keluarga. Karena peristiwa itu, ia pergi dari rumah tanpa tujuan dan akhirnya pergi ke Medan dan hingga kini menjadi seorang anak jalanan.
COFS-4 adalah seorang anak berusia 17 tahun. Seorang anak tunggal dari keluarga kaya di Nangro Aceh Darusalam. Keinginannya untuk melanjutkan SMA pada jurusan seni di kota Medan ditentang oleh keluarganya yang menginginkan anaknya tetap mengenyam pendidikan agama di Aceh. Tanpa sepengetahuan keluarga ia pergi ke Medan. Awalnya ia ingin melanjutkan sekolah. Tetapi karena ia tidak membawa berkas apapun dan tidak memiliki keluarga sama sekali di Medan, akhirnya ia menjadi seoarang gelandangan. Melihat para pengamen diperempatan jalan aksara, ia merasa tertarik untuk ikut serta, karena memang ia sudah tidak tahu lagi harus ngapain di Medan. Akhirnya ia bergabung dengan anak jalana tersebut, dan menjadi bagian dari mereka. Menurut pengakuannya, setahun yang lalu, pihak keluarga sempat datang ke Medan dan mengajaknya pulang kerumah, tetapi dengan alasan ia lebih nyaman tinggal di jalanan, ia menolak ajakan keluarga untuk kembali kerumah. Akhirnya dengan berat hati keluarganya membiarkannya mengikuti apa yang di ingininya. Walau demikian, COFS-4 tetap menjalin hubungan dengan keluarga dan pada lebaran idul fitri 1432 H kemarin, ia menyempatkan untuk kembali kerumah sekedar menjenguk kelurganya.
Berdasarkan informasi dari anak-anak jalanan tersebut, bisa disimpulkan bahwa mayoritas anak menjadi anak jalanan disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga lemah. Akibatnya, sebagian kecil disebabkan oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis. Karena tidak betah dirumah, akhirnya mereka memilih hidup di jalanan dan faktor lain seorang anak menjadi anak jalanan adah sekedar iseng dan dalam rangka penyaluran bakat, tetapi dibalik itu, ada faktor kelurga yang menjadikan anak tersebut turun ke jalanan. Kenyataan ini menguatkan pendapat para peneliti lain bahwa anak-anak menjadi anak jalanan dikarenakan faktor ekonomi dan keluarga.

Aktivitas dan Pengamalan Anak Jalanan
CONS-1 menjadi anak jalanan dengan berjualan rokok dan minuman gelas dalam bentuk gendongan. Ia berjualan setelah pulang sekolah, dan pulang ke rumah setelah pukul 20.00 WIB. Penghasilannya setiap berjualan sekitar 25 sampai 40 ribu rupiah. Menurut pengakuannya, sebenarnya penghasilan tersebut masih kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena uang tersebut sering digunakan oleh ayahnya untuk mabuk-mabukan.
CONS-2 menjadi anak jalanan karena gaji ibunya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia menjadi penjual asongan seperti rokok, minuman gelas, permen dan tisu. Menurutnya, berjualan adalah perbuatan terpuji dari mengamen atau mengemis, meskipun ia pernah meminjam gitar milik temannya sesama anak jalanan untuk mengamen. Hal itu dilakukannya karena ia memiliki bakat memainkan musik dan menyanyi, sehingga terkadang ia ingin menyalurkan bakat tersebut. Pada awal menjadi anak jalanan, ia lebih suka menjadi pengamen, namun ibunya melarang. Pendapatan sehari-harinya antara 30 sampai 40 ribu rupiah. Sebanyak 20 ribu rupiah dari pendapatannya diberikan kepada ibunya, 10 ribu rupiah digunakan sebagai pengeluarannya selama di jalanan, dan 10 ribu rupiah ditabung. Ia punya cita-cita, jika tabungannya sudah banyak, mak ia akan menggunakannya sebagai modal untuk memiliki kios sendiri lengkap dengan barang-barang jualan, menjadi pedagang sukses, sehingga dapat membantu semua adiknya untuk melanjutkan sekolah.
CONS-3 menjadi anak jalanan karena kondisi keluarga tidak harmonis. Ia menjadi seorang pengemis, karena tidak memiliki kemampuan apapun untuk mendapatkan uang sebagai biaya hidup di jalanan. Ia sangat jarang pilang ke rumah, dan selalu tidur di pelantaran toko. Pada awal menjadi anak jalanan, ia selalu dimintai uang oleh seniornya di jalanan dengan alasan uang keamanan atau uang sewa tempat tidur di pelantaran toko tersebut. Karena sudah dianggap anak lama di jalanan, kini ia tidak pernah dimintai uang lagi oleh seniornya, namun malah ikut memintai uang kepada juniornya.
CONS-4 menjadi anak jalanan sebagai pengamen. Ia melakukan aktivitasnya setelah pulang dari sekolah, antara pukul 14.00 WIB sampai 21.00 WIB di persimpangan jalan titing kuning Medan. Pada awal menjalani hidup sebagai anak jalanan, ia tetap pulang kerumah setiap harinya. Tetapi belakangan karena sering dimarahin oleh orang tuanya, tak jarang ia ikut menginap bersama teman-teman sesama anak jalanan lainnya di jalanan. Dari pengakuannya, ia tidak pernah menghitung berapa uang yang didapatnya setiap hari, dan tidak ada targetan apa-apa dalam mengamen. Ia mengamen hanya untuk kesenangan pribadi, sekedar menyalurkan bakat musiknya dalam bermain gitar dan bernyayi. Sehingga setiap mendapat uang selalu dihabiskannya begitu saja di jalanan, atau membeli sesuatu yang di ingininkannya saat itu.
COFS-1 adalah seorang anak tanpa orang tua di kota Medan. Ia menjadi seorang pengamen. Ia mengamen bersama seorang anak seusianya, dan mereka berada dibawah koordinasi seniornya di jalanan. Sebagian pendapatan mereka diberikan kepada seorang senior, dan mereka hanya diberikan sebesar 5 samapi 10 ribu rupiah sehari. Jika pendapatannya kurang, maka ia harus berkongsi bersama temannya untuk membeli satu nasi bungkus dan dimakan bersama-sama. Pada malam hari, ia tidur di pelataran toko di sekitar Aksara (Medan). Menurut pengakuannya, ia sering mendapat perlakuan kasar dari para seniornya seperti dipukul, dibentak bahkan disodomi.
COFS-2 menjadi anak jalanan karena ditinggal oleh kedua orang tuanya, di jalanan ia berperan sebagai seorang pengamen, walaupun ia memiliki tubuh yang cacat akibat terbakar. Ia malu menjadi pengemis, sebab menurutnya, mengamen lebih baik dari mengemis, meski ia tidak memiliki suara yang bagus. Pendapatannya sehari adalah 10-15 ribu rupiah. Pendapatan ini hanya cukup untuk makan sehari saja, karena itu, keesokan hari ia harus mengamen lagi untuk mencari rezeki hanya untuk makan.
COFS-3 menjadi anak jalanan karena pergi dari rumah setelah dimarahi dan dipukul orang tuanya karena telah mencuri barang miliki tetangganya. Ia berperan menjadi pengamen bersama sejumalah temannya dan bertugas sebagai pemain gitar. Penghasilannya sehari-hari mencapai 25 sampai 40 ribu rupiah, dan penghasilan ini dibagi dua dengan temannya.
COFS-4 adalah seorang anak dari Aceh yang menjadi anak jalanan karena keinginannya untuk menekuni bidang seni musik ditentang oleh kedua orang tuanya. Di jalanan di berperan sebagai seorang pengamen. Aktivitas mengamen di jalaninya dari pukul 10.00 WIB sampai 18.00 WIB dengan pendapatan rata-rata 50 sampai 70 ribu rupiah setiap harinya. Sebagian uang itu dipakai untuk keperluan sehari-harinya, untuk membeli perlengkapan mengamen, sewa kos di Medan dan sisanya ditabung. COFS-4 termasuk anak jalanan yang aktif mengikuti kegiatan dari yayasan dan LSM peduli anak jalanan. Ia juga menjadi angggota dalam sebuah lembaga pecinta alam di kota Medan.
Dengan demikian, pada umumnya, anak-anak jalanan tersebut lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pengamen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyalurkan bakat yang dimilikinya. Mereka menyanyikan lagu dengan lirik seadanya sampai yang hampir mirip dengan penyanyi profesional. Alat musik yang digunakan juga masih tergolong sederhana, dari mulai kerincingan yang dibuat dari kayu dan beberapa tutup botol minuman, mini drum, gitar kecil dan besar sampai pada alat musik harmonika.
Dari aktifitas yang mereka jalani di jalanan, ada beberapa temuan menarik tentang bagaimana fenonema yang terjadi sebenarnya di jalanan. Ada beberapa latar belakang alasan yang dari hadirnya anak jalanan di kota Medan. Dan dalam penelitian ini, peneliti mengelompokkan anak jalanan kota Medan kepada dua kelompok, yaitu anak jalanan yang hadir dari sebuah tuntutan hidup dan anak jalanan yang hadir dari keinginan untuk mendapatkan kebebasan hidup.

Anak Jalanan Hadir dari Sebuah tuntutan hidup
Setiap orang pastinya mnginginkan kehidupan yang layak dan berkecukupan. Apalagi seorang anak, mestinya mereka hidup dengan selayaknya, bermain, bersuka ria, dan belajar tanpa harus memikirkan hal lain dari itu. Tetapi tidak semua anak mendapatkan semua itu. Faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu dan berbagai alasan lain, terkadang mengharuskan anak untuk bekerja dan memiliki penghasilan agar dapat melanjutkan hidupnya. Fenomena anak jalanan di kota Medan yang kita lihat merupakan dampak dari tuntutan hidup mereka yang pada akhirnya menjadikan mereka anak jalanan.
Menurut CONS-1, alasan utama yang menjadikannya anak jalanan adalah karena ingin mencari uang untuk membantu keluarganya, karena ayahnya yang tidak memiliki pekerjaan dan gaji ibunya yang tidak mencukupi buat pemenuhan sehari-hari. Kemudian CONS-2, yang memilih menjadi anak jalanan karena ingin membantu ibunya dalam mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. Data ini dapat diambil dari pengakuan beberapa anak jalanan yang mengatakan mereka turun ke jalan karena untuk mencari uang agar tetap bisa makan. Pernyataan senada juga dikatakan oleh CONS-3, COFS-1, COFS-2, dan COFS-3. Berbagai alasan yang mereka sebutkan, yang pada umumya alasan-alasan tersebut mengarah pada sebuah tuntutan hidup yang dialami mereka sehingga mereka memilih untuk menjadi anak jalanan.
CONS-3 karena ibunya yang meninggal dunia dan ayahnya telah menikah lagi dengan ibu tiri yang sering memarahinya sehingga ia tidak tahan dirumah dan akhirnya keluar dari rumah. Dan untuk memenuhi kebutuhannya selama berda di luar rumah, ia menjadi anak jalanan sebagai mengemis untuk dapat uang agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
COFS-1 yang ditinggal orang tuanya dalam bus harus mengamen di jalanan agar tetap dapat hidup di Medan. Menurutnya, tidak ada pilihan lain selain menjadi anak jalanan, karena di Medan ia sama sekali tidak memiliki keluarga. Ia mengatakan; “Bagaimana bisa tetap hidup kalau kita tidak punya duet (uang) buat beli nasi dan kebutuhan lain, ya mau tidak mau harus kerja, dan kerjaan yang dapat aku lakukan ya mengamen, dengan mengamen aku dapat duet dan aku bisa makan”.
COFS-2 yang rumahnya terbakar kemudia di tinggal orang tuanya juga memilih menjadi anak jalanan karena tidak ada lagi pilihan lain. Ia mengatakan : “siapa yang mau ngasih kita makan disini, sedang keluarga gak ada, dan gak ada yang peduli. Dengan mengamen aku dapat uang dan bisa makan, sisanya bisa ditabung buat kebutuhan lain”.
COFS-3 nekat meninggalkan rumah dan pergi ke Medan setelah dimarahi orang tuanya karena telah membuat malu kelurga akibat ia mencuri sepatu tetangganya. Selama di Medan ia harus mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan cara untuk mendapatkan uang menurutnya adalah menjadi seorang pengamen. Mengamen menhasilkan uang dengan mudah tanpa harus mengeluarkan modal, karena ia memang tidak memiliki modal untuk membuka sebuah usaha dan tidak memiliki keahlian untuk dapat bekerja selayaknya.
Pengakuan dari beberapa anak jalanan diatas, dapat disimpulkan bahwa alasan mereka menjadi anak jalanan adalah karena tuntutan hidup, baik itu yang berhubungan dengan kelurga maupun dirinya sendiri. Mereka sangat mengaharapkan apa yang dilakukannya selama di jalanan akan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari hidupnya. Terutama kebutuhan primer yaitu makan.


Anak Jalanan Hadir dari keinginan untuk kebebasan hidup
Diluar dari alasan-alasan diatas, sebuah temuan menarik yang di dapat oleh peneliti, bahwa keberadaan anak jalanan di kota Medan juga disebabkan oleh keinginannya untuk mendapatkan kebebasan dan menyalurkan bakat yang di milikinya, bukan karena tuntutan hidup.
Data ini diperoleh dari pernyataan yang dikemukakan oleh CONS-4 dan COFS-4. CONS-4 menjadi anak jalanan karena kurangnya kebebasan yang didapat didalam kelurga, hobi dan bakatnya tidak dapat di salurkannya, dan ia lebih memilih untuk menjadi anak jalanan, sehingga ia lebih memiliki kebebasan dan dapat mengekspresikan dirinya. Begitu juga dengan COFS-4 yang turun ke jalan setelah pergi dari rumahnya karena keinginnya tidak di penuhi oleh keluarga. Menjadi anak jalanan telah memberikan kebebasan dalam hidupnya dan ia dapat menyalurkan hobi dan bakatnya tanpa ada tentangan dari orang lain.
Fenomena ini menjadi hal yang cukup menarik, melihat bagaimana seorang anak berperan menjadi anak jalanan dalam usia yang seharusnya masih harus mengenyam pendidikan tanpa ada suatu hal yang dapat merusak konsentrasinya dalam belajar. Tetapi faktor ini menjadi suatu hal yang harus dikaji lebih dalam karena mungkin bukan hanya karena hobi atau untuk kebebasan hidup saja mereka menjadi anak jalanan. Dari temuan yang di dapat lapangan menyimpulkan mereka ini menjadi betah di jalanan dengan orientasi yang jauh berbeda dari alasan awal mereka turun di jalan. Faktor hobi dan kebebasan hidup pada akhirnya merusak pemikiran mereka tentang perspektif masa depan yang lebih layak dari sekedar harus menjadi pengamen di jalanan. Pemikiran mereka menjadi sempit, karena yang mereka jalani saat ini, sudah sangat nyaman bagi mereka, dan sudah menjadi kebiasaan rutin mereka. Yang pada akhirnya tidak memberiakan ruang lagi untuk berpikir tentang masa depan mereka nantinya.

Problematika Anak Jalanan Kota Medan

Ada banyak problem yang selalu di alami oleh anak jalanan. Baik itu problem internal dikalangan sesama anak jalanan dan kehidupan sehari-hari, maupun problem extrenal tentang status sosial mereka dalam masyarakat. Ada yang peduli dan menaruh simpati kepada mereka, tapi banyak juga yang merasa terusik dan tidak senang akan keberadaan mereka. Dalam hal ini peneliti mencoba membahas problem tersebut secara menyeluruh, baik itu problem internal mereka , dan juga problem external dikalangan masyarakat dalam menyikapi fenomena anak jalanan di kota Medan.
Sesuai dengan tema pembahasan yang penelitian paparkan diatas, peneliti akan merincikan problem dari anak jalanan yang hadir dari sebuah tuntutan hidup dan problem anak jalanan yang hadir dari keinginan mereka untuk kebebasan hidupnya. Pastinya sangat berbeda problema yang dialami dan intrumen solusinya akan berbeda pula.
Problem yang dialami pada anak jalanan pada umumya sama yaitu masalah mental dalam menyandang status sebagai anak jalanan, status sosial yang dianggap rendah oleh masyarakat secara umum, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat agar dapat menyatu dalam kehidupan normal di masyarakat. Dan pada akhirnya menjadi problem external di kalangan masyarakat yang menilai buruk akan apa yang di perbuat mereka. Kemudian problem mereka sesama anak jalanan yang memiliki keinginan bersaing dalam menjalani kehidupan sebagai anak jalanan, sehingga ada yang namanya senior dan junior yang akan mempengaruhi status mereka dikalangan sesama anak jalanan.
Selain persamaan tersebut, problem anak jalanan yang hadir karena tuntutan hidup dan anak jalanan yang hadir dari keinginan mendapatkan kebebasan hidup, memiliki perbedaan. Problem utama yang dialami oleh anak jalanan yang hadir akibat sebuah tuntan hidup adalah mereka hanya akan berpikir bagaimana mereka bisa mengahasilkan uang. Berbagai peran seperti menjadi pedagang asongan, pengamen sampai menjadi pengemis telah merubah perspektif mereka dalam memandang hidup. Walau sebagian masih berpikir kepada orientasi masa depan yang lebih layak, tetapi mereka terjepit dengan keadaan di jalanan yang harus membuat mereka terus bekerja mencari uang. Mereka tidak memiliki opsi lain yang lebih baik, karena mereka menganggap mereka telah mampu memenuhi hidupnya selama berperan menjadi anak jalanan. Sedangkan problem utama yang dialami oleh anak jalanan yang hadir dari keinginan untuk mendapatkan kebebasan hidup lebih kepada orientasi mereka pada masa depan, mereka telah terjebak pada sebuah pilihan hidup di jalanan. Selama berada di jalanan, mereka telah mendapatkan semua keinginan mereka, kebebasan, tersalurnya bakat yang mereka miliki, dan telah memiliki penghasilan sendiri. Pada akhirnya pemikiran mereka akan berhenti hanya sampai pada titik tersebut, kalau tidak ada pembinaan dan pemberian pandangan secara persuasif kepada mereka, bisa jadi, meraka berkeinginan untuk tetap menjadi anak jalanan sampai waktu yang tidak ditentukan, hal ini tentunya akan menyempitkan pandangan mereka bahwa ada kehidupan lain yang lebih layak selain menjadi anak jalanan, ada opsi lain dalam mencari kebebasan dan menyalurkan bakat selain menjadi anak jalanan.
Dua katagori anak jalanan yang disebutkan diatas juga akan menjadi problem di masyarakat, sebagian masyarakat akan merasa resah, merasa terganggu dengan kehadiran anak jalanan, karena melihat fakta dilapangan, kebanyakan anak jalanan telah merasa betah dengan aktifitas yang mereka lakoni, apapun alasannya. Baik itu karena faktor tuntutan hidup, maupun faktor ingin mencari kebebasan hidup. Dan jarang mereka mereka melakukan tindakan diluar dari norma yang seharusnya sehingga masyarakat meresa resah dan terganggu. Belum lagi perspektif mereka yang telah terkurung dalam paradigma hidup di jalanan adalah sebuah pilihan yang telah mereka pilih dan itu yang terbaik karena tidak ada pilihan lain yang mereka punya. Untuk itu, seharusnya peran kita semua adalah bagaimana memberikan mereka sugesti bahwa di luar kehidupan sebagai anak jalanan, mereka masih mempunyai kehidupan lain, mereka masih mempunyai pilihan lain, tentunya juga harus dibarengi dengan opsi-opsi dari kita semua untuk dapat merubah paradigma sempit mereka dalam memandang kehidupan, juga dengan fasilitas yang mendukung sehingga mereka akan tertarik untuk mengikuti atau setidaknya mempertimbangkan untuk berpikir bahwa sebenarnya mereka punya banyak pilihan dan pilihan itu akan lebih baik selain mereka harus menjadi anak jalanan.
Karena kehidupan sebagai anak jalanan tidak akan bisa menjamin kehidupan yang lebih layak dimasa depan buat mereka. Hal ini berlaku kalau mereka tidak memiliki lagi opsi lain selain peran sebagai anak jalanan yang telah mereka pilih sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Juga tidak adanya dukungan dari pihak lain agar mereka dapat membuat pilihan lain.

Instrumen Solusi penyelesaian Problematika Anak Jalanan Kota Medan
Permasalahan anak jalanan, merupakan permasalahan yang kompleks, dan perlu beragam alternatif solusi untuk dapat menyelesaikan permasalahannya. Menurut Kakanda Sakti Ritonga[10] saat diajak berdiskusi tentang permasalahan anak jalanan pada hari jum’at, tanggal 18 Nopember 2011 di ruangan Jurnal Miqot IAIN SU pukul 16.00 s/d selesai. Ada beberapa langkah dalam penyelesaian permasalahan anak jalanan, meliputi :
- Pendekatan
- Penyuluhan
- Pendidikan
- Pembinaan
- Pemberdayaan
Langkah-langkah tersebut lebih lanjut beliau paparkan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan, khususnya anak jalanan di kota Medan, kita harus melakukan pendekatan secara persuasif, pendekatan secara humanisme. Pendekatan perlu dilakukan agar mereka mau berbicara tentang keadaan sebenarnya yang mereka alami di jalanan, faktor penyebab dan problematika yang mereka hadapi. Dengan pendekatan secara persuasif dan humanisme mereka akan berbicara secara gamblang, sehingga data yang kita peroleh benar-benar sesuai dengan realita yang ada. Setelah kita mampu melakukan pendekatan kepada mereka, perlahan kita dapat melakukan penyuluhan dalam merubah pandangan mereka tentang kehidupan yang mereka lakoni dijalanan. Penyuluhan itu penting agar mereka mendapatkan pandangan bahwa tidak selamanya mereka akan menjadi anak jalanan. Setelah dua tahapan itu telah kita laksanakan, selanjutnya kita harus mengisi pikiran mereka dengan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan karakter, yaitu penanaman karakter sehingga mereka memahami hakikat dari apa sebenarnya makna dari kehidupan mereka dan siapa sebenarnya mereka. Sehingga nantinya mereka memiliki karakter yang positip untuk selanjutnya dapat di lakukan proses pembinaan kepada mereka untuk dapat hidup lebih baik setelah pemahaman mereka dapatkan melalui pendidikan yang mereka peroleh. Proses pembinaan terhadap anak jalanan, nantinya akan mengacu pada tahapan pemberdayaan mereka, karena kita tahu, masing-masing anak jalanan mempunyai potensi yang lebih, mempunyai keterampilan khusus yang dapat diberdayakan untuk dapat meningkatnya status sosial mereka. Kalau semua langkah-langkah ini dilakukan dengan seksama, dan prosesnya dilakukan dengan baik, maka besar kemungkinan permasalahan anak jalanan akan dapat diselesaikan. Disini kita tidak berbicara bagaimana menghapuskan anak jalanan, tetapi lebih kepada bagaimana anak jalanan tersebut dapat memili opsi lain untuk memperoleh keinginannya tanpa harus memilih untuk tetap menjadi anak jalanan.
Langkah-langkah tersebut merupakan proses umum dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan. Peneliti akan mencoba membuat sebuah intrumen solusi penyelesaian memalui data temuan terhadap fenomeni anak jalanan di kota Medan. Instrumen solusi akan disusun sesuai dengan kebutuhan anak jalanan di kota Medan dengan melihat beragam problematika yang mereka hadapi.
Adalah salah besar kalau kita mempunyai asumsi bahwa untuk menyelesaikan anak jalanan harus dengan menghapuskan keberadaan anak jalanan tanpa opsi lain setelah mereka tidak lagi berperan sebagai anak jalanan. Analoginya, itu sama halnya dengan kita ingin menghapuskan kemiskinan. Kalau ingin seperti itu, kita harus memusnakan semua orang-orang miskin yang ada, agar yang tersisa hanyalah orang-orang kaya. Begitu juga dengan penghapusan anak jalanan, kita musnakan saja mereka, dengan begitukan tidak ada lagi anak jalanan, karena percuma menghapuskan anak jalanan tanpa solusi, itu sama saja dengan membunuh mereka. Yang salah bukan mereka, tetapi bagaimana kita semua, pemerintah dan masyarakat yang menjadi mereka tetap ada.Seharusnya ada solusi lain, sehingga kita bukan ingin menghapuskan mereka, tetapi bagaimana mereka dapat melihat kehidupan lain selain menjadi anak jalanan yang akhirnya mengikis keberadaan anak jalanan secara alami. Tidak bisa menghapuskan mereka tanpa memberikan mereka pilihan, dan mereka akan memiliki pilihan setelah adanya opsi lain yang mereka anggap lebih baik[11]
Dalam teori Problem Solving sebuah instrumen solusi akan dapat tersusun setelah seluruh permasalahan diketahui. Kemudian diklasifikasi untuk membuat rumusan-rumusan masalah dan kemudian dicari solusi penyelesaiannya. Dalam hal ini langkah-langkah yang harus dilakukan, meliputi :
- Mengumpulkan semua problem yang terjadi dikalangan anak jalanan kota Medan, baik internal maupun external
- Mengelompokkan problem-problem yang ada
- Problem yang ada dibuat menjadi sub-sub problem
- Menyusun alternatif solusi dari problem yang ada
- Alternatif solusi diklasifikasikan untuk membuat alternatif umum dan khusus dalam penyelesaian problem
- Paparkan solusi
Problem yang ada dikalangan anak anak jalanan di kota Medan sangat dipengaruhi dari faktor yang melatarbelakangi mereka menjadi anak jalanan.Dari hasil penelitian dilapangan, adapun faktor yang melatarbelakangi mereka menjadi anak jalanan kota Medan meliputi :
Ekonomi keluarga yang tidak mencukupi Tidak harmonisnya hubungan didalam keluarga Tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi anak jalanan Hobi dan ingin mencari kebebasan hidup Dari berbagai faktor tersebut, faktor ekonomi menjadi yang paling dominan, kemudian disusul oleh faktor ketidak harmonisan keluarga, faktor tidak adanya pilihan, dan faktor hobi atau ingin mendapatkan kebebasan hidup. Beragam problem yang berbeda muncul dari latar belakang tersebut.
Solusi yang lahir dari beragam permasalahan tersebut akan berbeda satu dengan lainnya melihat latar belakang dari keberadaan mereka. Karena apa yang dialami oleh anak jalanan seperti CONS-1 tentunya berbeda dengan CONS-2 dan seterusnya. Latar belakang inilah yang akan menjadi acuan dalam membuat instrumen solusi penyelesaiannya. Untuk itu peneliti akan merincikannya satu persatu kemudian membuat instrumen secara umum untuk dapat dilaksanakan.
Anak jalanan seperti CONS-1 hadir akibat faktor ekonomi keluarganya yang tidak mencukupi, dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan seperti CONS-1 tidak bisa dilakukan hanya melalui CONS-1 saja, tetapi harus juga melibatkan pihak keluarga dalam mencari solusi dan alternatif lain sehingga CONS-1 tidak lagi menjadi anak jalanan. Dalam hal ini, upaya harus dilakukan meliputi :
- Pendekatam secara persuasif dan humanisme kepada CONS-1 dan keluarga agar dapat menggali permasalahan yang menjadikan CONS-1 sebagai anak jalanan.
- Mengadakan penyuluhan kepada keluarga CONS-1 tentang status CONS-1 sebagai anak jalanan bahwa hal itu tidak seharusnya dilakukan kepada CONS-1 sehingga nantinya keluarga dapat memberikan pemahaman kepada CONS-1 bahwa tidak seharusnya CONS-1 menjadi anak jalanan, tentunya dalam penyuluhan ini juga disertai opsi lain dan fasilitas yang mendukung sehingga keluarga dan CONS-1 dapat menerima saran atau tawaran yang kita ajukan. Karena kita mengetahuo, alasan CONS-1 menjadi anak jalanan karena ingin membantu ibunya mencari uang untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga. Disini dituntut peran aktif pemerintah dan masyarakat sehingga anak-anak seperti CONS-1 memiliki opsi lain selain menjadi anak jalanan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka.
- Memberikan pendidikan karakter kepada CONS-1 untuk lebih dapat berpikir positif dalam memandang kehidupan.
- Melakukan pembinaan terhadap CONS-1 dan keluarganya tidak berpikiran lagi untuk turun menjadi anak jalanan.
- Memberdayakan potensi yang dimiliki CONS-1 dan keluarga agar apa yang dilakukan oleh CONS-1 bermanfaat bagi mereka sehingga mereka terhindar dari opsi menjadi anak jalanan. Pemberdayaan juga harus didertai dengan fasilitas untuk mendukung program penyelesaian masalah ini tetap berjalan.

Problem yang dihadapi oleh anak jalanan seperti CONS-1 tidak jauh berbeda denga problem anak jalanan seperti CONS-2, CONS-3. Tetapi perbedaannya terletak pada pembinaan terhadap keluarga CONS-2 dan CONS-3. Peran kita semua harus dapat memberikan rasa nyaman kepada CONS-2 dan CONS-3 didalam lingkumgan keluarganya, tentunya dengan mengadakan penyuluhan kepada kelurga CONS-2 dan CONS-3 bahwa tidak selayak mereka harus menjadi anak jalanan. Disini peran kita semua sangat diharapkan, sehingga pihak kelurga dan CONS-2 dan CONS-3 dapat mencari solusi lain sari menjadi anak jalanan dalam menyelesaiakan permasalahan mereka.
Dalam kasus ini, metode pendekatan kepada keluarga juga dapat diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh CONS-4 dan COFS-4. Karena selain faktor hobi dan ini mencari kebebasan hidup, latar belakang CONS-4 dan COFS-4 juga tidak terlepas dari faktor keluarga. Selanjutnya CONS-3 dan Cons-4 harus diberikan pemahaman bahwa ada opsi lain selain harus menjadi anak jalanan agar dapat mendapatkan kebebasan hidup dan menyalurkan bakat mereka. Komunikasi dengan pihak kelurga kemudian di dukung dengan fasilitas penunjang berkenaan dengan hal tersebut akan menjadi alternatif solusi dalam menyelesaikan permasalahan anak jalanan seperti CONS-4 dan COFS-4.
Solusi berbeda terdapat dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh COFS-1, COFS-2, dan COFS-3. Anak jalanan seperti kasusu COFS-3 bisa saja dilakukan dengan metode yangg dipakai pada masalah diatas, karena setidaknya COFS-3 masih memiliki keluarga walau tidak di Medan. Tetapi sebelum sampai pada tahap itu, perlu adanya upanya pendekatan yang dlakukan kepada COFS-3, kemudian penyuluhan, pendidkan, pembinaan dan pemberdayaan. Kemudia baru memulai proses untuk melakukan pendekatan kepada keluarga agar COFS-3 ingin kembali menyatu dengan keluarga dengan bekal kemampuan dan keterampilan yang telah dimilikinya, sehingga ia tidak akan menjadi anak jalanan lagi. Sedangkan penyelesaian masalah untuk COFS-1 dan COFS-2 perlu kerja extra karena mereka sama sekali tidak memiliki keluarga di Medan, bahkan tidak mengetahui dimana keberadaan keluarga. Solusi yang diberikan kepada mereka adalah mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih layak buat mereka selain menjadi anak jalanan, yang ini harus sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki, sehingga mereka juga mendapatkan penghasilan sendiri untuk mempertahankan hidup mereka. Alternatif ini juga harus disertai dengan fasilitas yang cukup, sehingga tepat sasaran dan mereka dapat menjalani kehidupan baru yang lebih layak dari selain menjadi anak jalanan.
Dari berbagai alternatif yang dipaparkaan diatas, dapat dirumuskan secara umum instrumen solusi penyelesaian permasalahan anak jalanan di kota Medan, meliputi :
- Adanya pendekatan kepada anak jalanan untuk mengetahui problem yang mereka hadapi. Pendekatan tersebut dilakukan secara persuasif dan humanisme sehingga anak-anak jalanan merasa tidak terusik dengan kehadiran kita, karena anak jalanan tak jarang juga beranggapan negatif ketika kita melakukan pendekatan kepada mereka. Dari pendekatan ini, diharapkan kita mendapatkan data dari problem-problem yang mereka alami selama menjadi anak jalanan. Problem-problem tersebut selanjutnya dikumpulkan dan dianalisis secara mendalam untuk satu persatu dicari solusi penyelesaiannya.
- Penyediaan fasilitas pendidikan altertenatif untuk menunjang pendidikan anak jalanan, sehingga mereka tetap dapat belajar dan lambat laun akan meninggalkan profesinya sebagai anak jalanan karena telah memiliki pandangan lebih luas dan memiliki bekal ilmu untuk selanjutnya diamalkan dalam kehidupan sehari.
- Penyediaan fasilitas untuk mengoptimalkan keterampilan dan bakat yang dimiliki anak jalanan, seperti penyediaan rumah singgah, rumah musik, dan tempat-tempat pengembangan kreativitas sehingga mereka tidak lagi menjadi anak jalanan.
- Pemberian modal usaha untuk keluarga kurang mampu agar dapat membuka usaha sendiri dan tidak lagi mengharuskan anaknya menjadi anak jalanan.

Penutup
Anak jalanan adalah aset pembangunan sebuah daerah, karena apabila anak jalanan diberikan pembinaan, kemudian diberdayakan, bukan tidak mungkin mereka akan memberikan kontribusi untuk kemajuan pembanguna sebuah daerah. Mereka memiliki potensi, memiliki keterampilan, hanya saja penempatan dan cara penyalurannya belum sesuai pada tempat yang semestinya.
Disini peran kita semua dituntut, peran pemerintah, peran masyarakat dan peran kaum terpelajar harus bersama mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan problematika yang ada pada anak jalanan.
Dari berbagai faktor yang telah menjadikan seorang anak menjadi anak jalanan, harusnya berbeda pula solusi dalam penyelesaiannya. Langkah-langkah strategis harus diambil untuk dapat menjadikan anak jalanan bukan sekedar sebuah status sosial yang rendah, tapi bagaimana mereka dapat memberika kontribusi yang baik buat kemajuan pembangunan di sebuah daerah bahkan cakupan nasional.
Harapan kita semua, semoga pihak-pihak terkait dalam permasalahan ini, kembali membuka hati, melihat langsung realita keadaan dilapangan tentang anak jalanan agar dapat dengan segera menyelesaiakan permasalahan fenomena anak jalanan di kota Medan yang semakin komplek dari hari ke hari.
Anak jalanan juga anak bangsa. Anak jalanan juga bagian dari kita semua. Mari kita sama-sama peduli. Karena kepedulian kita adalah harapan baru buat mereka.


Catatan Kaki :

[1]Syahminan Zaini, “Arti Anak bagi Seorang Muslim”, (Surabaya : Al-Ikhlas, t.t.), h. 10

[2]Hasil diskusi dengan bapak Ahmad Taufan Damanik pada hari selasa, 18 Oktober 2011 pukul 19.00 Wib s/d selesai di Kantor KKSP Medan.

[3]Surya Mulandar (ed), “Dehumanisasi Anak Marginal: Berbagai Pengalaman Pemberdayaan”, (Bandung: Akatiga, 1996).

[4]Ibid

[5]Kementerian Sosial Republik Indonesia

[6]Mulandar (ed), “Dehumanisasi Anak Marginal”, h. 177.

[7]Bandingkan Sri Sanituti Hariadi dan Bagong Suyanto (ed), “Anak Jalanan di Jawa Timur; Masalah dan Upaya Penanganannya” (Jawa Timur: BK3ES-Depsos Tk. 1 Jawa Timur, 1999); Irwanto, (ed) “Pekerja Anak di Tiga Kota Besar; Jakarta-Surabaya-Medan” (PKPM Atmajaya dan Unicef).

[8]Salahuddin, “Anak Jalanan Perempuan”. h. 11.

[9]Ibid. h. 8.

[10]Beliau adalah dosen antropologi di Fakultas Ushuluddin IAIN SU yang juga menjabat sebagai Kepala laboraturium Prodi Filsafat Politik Islam Fak. Ushuluddin IAIN SU, serta pengurus dari Jurnal Miqot IAIN SU.

[11]Hasil diskusi dengan Ahmad Kurniawan Hrp (Departemen Partisipasi Pembangunan Daerah HmI Cabang Medan) pada hari Sabtu, 26 Nopember 2011 pukul 19.00 Wib di Sekretariat HmI Kom’s Ushuluddin IAIN SU.

Minggu, 06 November 2011

SSC Medan dan GEMBIRA Sumut Peduli Banjir Pessel Sumbar








Menanggapi Musih Banjir Bandang Di Pesisir Selatan Sumatera Barat yang terjadi beberapa hari yang lalu. Koordinator Wilayah Save Street Child (SSC) Medan dan Dewan Pimpinan Wilayah Gerakan Mahasiswa Bersati Indonesia Raya (GEMBIRA) Sumatera Utara yang tergabung dalam :

Forum Gerakan Bersama Peduli Pessel

ikut berpartisipasi peduli dengan mengadakan aksi penggalangan Bantuan. Bantuan yang diterima berupa Makanan siap saji, air mineral, Susu, Biskuit, pakaian layak pakai, selimut, Uang dan kebutuhan pokok mendasar lainnya.

Bantuan dapat disalurkan secara langsung di Posko Penerimaan bantuan Forum Gerakan Bersama Peduli Pessel yang berada di :

Perempatan Jalan Aksara Medan
Simpang Kampus UMA depan Unimed


Atau dapat juga melalui


MANDIRI a/n ANDRIANSYAH : 1050010333973


Info Lanjut hubungi :


Andriansyah (General Coord SSC Medan) Hp. 0853 1171 7087
Yudhi W. Pranata (Ketua Umum GEMBIRA Sumut) Hp. 08537344 7467
M. Syafii Pasaribu (Korlap SSC Medan) Hp. 0853 7111 3949




Bantuan dari kita semua akan mengurangi beban yang mereka tanggung,..


Mari PEDULI..



Wassalam,..



Jumat, 30 September 2011

Workshop Save Street Child Medan

A. DASAR PEMIKIRAN
Saat ini, permasalahan terkait anak semakin banyak dan beragam. Indikasinya adalah semakin banyaknya anak-anak terlantar dan yatim-piatu yang tidak terurus, pemberdayaan anak-anak yang tidak pada tempatnya seperti dipekerjakan dengan waktu kerja yang sangat keterlaluan dan gaji yang tidak masuk akal, dan sebagainya. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa kehidupan anak-anak seharusnya diisi dengan bermain, belajar, dan bersuka ria. Begitu juga dengan permasalahan anak jalanan di perkotaan merupakan suatu hal yang dianggap wajar oleh masyarakat, padahal hal ini seharusnya merupakan suatu hal yang tidak wajar terjadi. Permasalahan anak jalanan merupakan salah satu dampak dari kurangnya kesadaran dan kepedulian sosial di masyarakat terhadap kondisi anak-anak.
Undang-undang dasar mengatur bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara (pasal 34 ayat 1), namun kenyataannya kemampuan pemerintah tidak sebanding dengan meningkatnya permasalahan anak, baik secara kuantitas maupun kualitas. Jumlah anak terlantar (dimana anak jalanan termasuk didalamnya) cenderung semakin meningkat, seiring dengan permasalahan kemiskinan yang belum dapat diatasi. Karena keterbatasan pemerintah itulah, peran aktif dari masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan ini sangat dibutuhkan.
Apa yang dapat dilakukan masyarakat terkait anak jalanan tersebut? Pada dasarnya, kebutuhan individu dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis (Cole dan Bruce, 1959). Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan primer seperti makan, minum, tidur, seksual, atau perlindungan diri. Sedangkan kebutuhan psikologis yang disebut juga kebutuhan sekunder dapat mencakup kebutuhan untuk mengembangkan kepribadian seseorang, contohnya adalah kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan mengaktualisasikan diri, atau kebutuhan untuk memiliki sesuatu, di mana kebutuhan psikologis tersebut bersifat lebih rumit dan sulit diidentifikasi segera. Begitu juga dengan anak jalanan tersebut, untuk dapat memupuk harga diri, perilaku dan aktualisasi dirinya, pertimbangan mengenai keunggulan dan kelemahan serta kebutuhan anak jalanan tersebut perlu dilakukan.
Begitu juga dengan kondisi anak-anak jalanan (ANJAL) yang berada di Kota Medan. Begitu banyak orang yang menilai negatif terhadap ANJAL tanpa mengetahui kondisi ANJAL tersebut dengan sesungguhnya. Mengamen, Mengelem, meminta-minta memang dianggap hina oleh masyarakat sekitar, bahkan oleh kaum terdidik seperti Pelajar dan mahasiswa juga menganggap hal itu adalah perbuatan hina. Namun apakah kita mengetahui apa penyebab mereka melakukan perbuatan hina tersebut secara langsung? Pasti kebanyakan dari kita hanya berasumsi tanpa terjun secara langsung untuk mencari tahu penyebab mereka melakukan hal ini. Dengan menumbuhkan dan menunjukkan sedikit rasa kepedulian kita dengan cara mencari informasi mengenai kondisi anak jalanan itu dapat memberikan kontribusi dalam perubahan perilaku anak jalanan tersebut.
Menanggapi permasalahan tersebut, Save Street Child hadir. Save Street Child adalah komunitas berjejaring yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan. Dibentuk oleh anak muda, dikelola oleh anak muda dan bersifat independen, desentralis, juga kreatif, sesuai semangat muda. Save Street Child bukan merupakan underbow dari Organisasi besar manapun, dan selalu bergerak mencari solusi terbaik dalam permasalahan anak jalanan.
Seperti yang kita ketahui, banyak sekali yayasan, LSM dan lembaga-lembaga lain yang fokus terhadap permasalahan anak jalanan. Sayangnya, keberadaan mereka kurang terawat, kadang bahkan terabaikan dari perhatian masyarakat dan pihak-pihak terkait. Ini menimbulkan efek simultan, dan menjadikan anak-anak tersebut terabaikan. Disinilah peran Save Street Child menjembatani dan memberikan angin segar untuk para anak-anak yang merasa hanya menjadi “tanggungan” yayasan tersebut. Dengan memanusiakan mereka kembali, harkat dan martabat anak-anak jalanan, baik yang tertampung maupun yang tidak.
Sebagai contoh, Anak-anak Jalanan yang berada di perempatan jalan Aksara Medan, para anak jalanan mendapatkan sedikit rasa kepedulian dari berbagai macam relawan yang datang dan pergi. Rasa kepedulian itu bermacam-macam bentuknya, ada yang mengajak mereka menggambar bersama, ada yang mengajarkan baca tulis dan berhitung, ada yang mengajak mereka jalan-jalan dan bahkan ada yang rela menginap barsama mereka untuk menunjukkan kepedulian mereka. Mungkin tidak semua orang sudah memiliki sekaligus merealisasikan rasa kepedulian mereka seperti yang diatas. Untuk mulai menumbuhkan rasa kepedulian dan merealisasikannya membutuhkan niat yang begitu luar biasa pada awalnya. Coba kita pikirkan, waktu kita dalam sehari ada 24 jam, tidak bisakah kita luangkan waktu kita lima menit dalam satu hari untuk menyapa dan menanyakan kabar mereka, atau mungkin setengah jam dalam sehari untuk mengajarkan arti dan makna hidup ini.
Bukan hanya di perempatan jalan Aksara Medan saja kita dapat menemui keberadaan anak jalanan. Ada banyak tempat di Kota Medan ini yang di huni oleh anak-anak jalanan. Sesuai dengan survey langsung dilapangan yang dilakukan oleh volunteer SSChild Medan pada tanggal 23 - 24 Juli 2011, setidaknya ada 12 titik lokasi keberadaan anak jalanan di Kota Medan. Meliputi : 1)Terminal Terpadu Amplas, 2)Simpang Marendal, 3)Perempatan jalan Juanda-Halat, 4)Taman Kota Stadion Teladan, 5)Perempatan jalan Aksara, 6)Perempatan jalan Bilal, 7)Perempatan jalan Krakatau, 8) Lampu merah jalan Perintis Kemerdekaan 9)Komplek Area Plaza Medan Fair, 10)Area Ringrut 11)Simpang Pos, 12)Terminal Pinang Baris.
Data ini mungkin belum valid, kemungkinan masih banyak lagi tempat-tempat keberadaan anak jalanan di Kota Medan. Yang jadi pertanyaan besar bagi kita semua adalah : Salah siapakah fenomena anak jalanan ini? Salah pemerintahkah yang sibuk berbicara bahasa saktinya tentang EKONOMI MAKRO nya? Salah orang-orang terpelajarkah yang menjadikan diri mereka PELACUR INTELEKTUAL dengan jargon-jargon KEBENARAN ILMIAH yang akhirnya tidak membuat mereka melakukan apa-apa? Atau salah mereka kah KARENA TIDAK BISA MEMILIH UNTUK TIDAK DILAHIRKAN SEBAGAI ANAK JALANAN?

Mereka tidak butuh dikasihani, mereka tidak butuh harapan-harapan Hampa.
Bantulah mereka membuat pilihan-pilihan baru dalam hidup mereka.
Mereka hanya butuh sedikit perhatian dan kasih sayang.
agar mereka dapat merubah hidup mereka.
Mereka juga anak bangsa ini.
Mereka juga adik-adik kita.
Walau mereka tidak seberuntung kita.
Tapi marilah kita buat mereka tersenyum.
dan memberikan sedikit arti kehidupan kepada mereka.
Terkadang terlalu banyak alasan kita untuk menutup mata, kuping dan hati kita.

Dengan dasar pemikiran tersebut Save Street Child Medan sebagai organisasi Otonom Save Street Child di wilayah Medan dan sekitarnya merasa perlu berbuat sesuatu untuk dapat menyelesaikan permasalahan anak jalanan yang semakin kompleks dari hari ke hari. Untuk itu Dewan Pengurus Daerah Save Street Child Kota Medan akan mengadakan kegiatan Workshop Fenomena Anak Jalanan di Kota Medan ; Problematika dan Solusinya. Adapun segala bentuk program dalam kegiatan Workshop yang dimaksud, kami tuangkan dalam bentuk Proposal.

B. NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama :
Workshop Save Street Child Medan
“Fenomena Anak Jalanan Kota Medan ; Problematika dan Solusinya”.

C. THEMA KEGIATAN
“Anak Jalanan juga Anak Bangsa”.

D. WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan ini insya Allah akan dilaksanakan pada hari Sabtu - Minggu, tanggal 29 - 30 Oktober 2011 bertempat di Wisma PHI Medan Sumatera Utara.

E. MATERI WORKSHOP
(Peranan Pemerintah dalam penanganan Anak Jalanan
H. Gatot Pujo Nugroho, ST : Gubernur Sumatera Utara)
Problematika Anak Jalanan dan Solusinya
(Dinas Sosial Sumatera Utara)
Anak Jalanan dalam Perspektif Hukum
(Irjen Polisi Wijnu Amat Satro : Kapolda Sumatera Utara)
Peranan Masyarakat dalam Penanganan Anak Jalanan
(Shefti Latifah : Inisiator Save Street Child Pusat)
Fenomena Anak Jalanan di Kota Medan
(Andriansyah, S. Sos : General Coordinator Save Street Child Medan)

F. TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini adalah:
1.Memperkenalkan Save Street Child (SSChild) Kota Medan
2.Menumbuhkan rasa kepedulian terhadap anak jalanan
3.Mencari solusi cerdas terhadap problematika anak jalanan di Kota Medan
4.Menyusun lagkah-langkah strategis dalam penanganan anak jalanan di Kota Medan

G. SASARAN DAN TARGET KEGIATAN
Sasaran dari kegiatan ini adalah Pihak-pihak terkait dalam permasalahan anak jalanan di Kota Medan.
Sedangkan Target kegiatan ini meliputi :
a.Tumbuhnya rasa kepedulian terhadap Anak Jalanan
b.Mendapatkan solusi cerdas terhadap problematika Anak Jalanan di Kota Medan
c.Tersusunnya langkah-langkah strategis dalam penanganan Anak Jalan di Kota Medan

H. PENANGGUNG JAWAB
Dewan Pengurus Daerah Save Street Child Kota Medan

I. PESERTA
Adapun peserta dalam kegiatann ini meliputi :
1.Pelajar dan Mahasiwa
2.Yayasan, LSM dan Komunitas Peduli Anak Jalanan
3.Pihak-pihak terkait dalam permasalahan Anak Jalanan

J. PENDANAAN DAN SUMBER DANA
1. Pendanaan
Total seluruh biaya dalam kegiatan ini sebesar Rp. 32.340.000,00-.
Terbilang “Tiga Puluh Dua Juta Tiga Ratus Empat Puluh Ribu Rupiah”

2. Sumber Dana
a. Iuran Pengurus dan Volunter SSChild Medan
b. Kontribusi Peserta
c. Instansi Pemerintah dan Swasta
d. Sponsor
e. Donatur yang sifatnya tidak mengikat.

K. PENUTUP
Demikianlah proposal kegiatan ini kami sampaikan. Kami berharap seluruh rangkaian acara dapat berjalan dengan lancar dan sukses demi mencapai tujuan awal dengan dukungan penuh dari berbagai pihak yang terkait. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.


Hormat Kami
Andriansyah, S. Sos (General Coordinator)
Muhammad Syafii Pasaribu, S. Sos (Operating Coordinator)
Rizki Pristiandi Hrp, S. Sos (Secretary)
Agustina Damanik, S. Sos (Treasury)

Rabu, 22 Juni 2011

Fenomena Anak Jalanan di Kota Medan

Kota Medan merupakan salah satu Kota besar yang ada di Indonesia. Padatnya penduduk, kemacetan lalu lintas dan laju mobilitas masyarakat yang tinggi menjadi keseharian yang ada di Kota Medan. Sebagai salah satu Kota besar, Medan juga memeliki problematika yang sama dengan kota-kota lainnya. Fenomena yang sering menginggapi hampir di semua kota besar. Yaitu Fenomena anak jalanan.

Jumlah anak-anak jalanan di Kota Medan semakin hari semakin meningkat, jika pada kuwartal awal abad millenium yang lalu hanya ada 3-5 orang anak jalanan di beberapa sudut kota tertentu, sekarang hampir di setiap sudut persimpangan kota Medan, dibawah gemerlap mewah lampu dan tempat-tempat ramai, dengan mudah dapat kita temukan mereka dan jumlahnya puluhan.

Melihat jumlah anak jalanan yang semakin banyak di Kota Medan, ada bebrapa faktor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan di Kota Medan. Dari sebuah penelitian yang dilakukan Oleh Heriana Siregara (Mahasiswa Program Magister Studi Perbandingan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara), pada tahun 2010 yang lalu dengan mengambil sampel 250 anak jalanan yang terdapat di lima titik lokasi, yaitu sekitar Terminal Terpadu Amplas, Terminal Pinang Baris, Bundaran Majestik, Simpang Seikambing dan Simpang Ramayana-Aksara. Mendapatkan hasil bahwa Faktor yang menjadikan seorang anak menjadi anak jalanan adalah : Kemiskinan keluarga, kehidupan sosial keluarga dan disorganisasi keluarga. Dari Variabel-variabel yang telah diukur, maka faktor kemiskinan keluarga merupakan faktor yang dominan dalam melahirkan anak jalanan di Kota Medan.


Apakah pemerintah selama ini hanya diam saja?, apakah tidak ada yang tergerak untuk membantu?. Beberapa program pemerintah coba melakukan upaya penyelamatan anak-anak bangsa ini, beberapa LSM, juga melakukan hal yang sama. Namun mengapa kian hari kian bertambah?

Anak jalanan adalah kelompok masyarakat kota yang termarginalkan. Dan sebagai anggota masyarakat, mereka juga berhak diayomi negara, dipastikan kesejahteraan dan pendidikannya, bagaimanapun, anak jalanan adalah calon-calon penerus bangsa kedepan, yang jika dibiarkan terus ada, kelak jika mereka dewasa semakin memberi beban kepada masyarakat dan negara.

Gaya hidup anak jalanan mendidik mereka untuk menjual rasa iba, sejak dini, melahirkan mental-mental rusak yang semakin kental ketika mereka dewasa nantinya. Dan jika hal ini terjadi, akan melahirkan semakin banyak penyakit sosial, dan tingkat-tingkat kriminalitas di masyarakat. Anak-anak yang jalanan yang masih belia, kelak akan terpengaruh teman-temannya untuk nge”lem” atau nge”boat”, dan pipi bulatnya akan cekung, binar matanya akan meredup, tubuh kecilnya akan layu, kurus kering oleh narkoba. Sekolah hanya jadi tempat membosankan dan membingungkan saja, sementara para mafia yang bisa jadi orang tua mereka sendiri justru memanfaatkan mereka. Dan ketika si anak semakin dewasa, kebutuhan semakin bertambah, sementara keterampilan yang dipunyai hanya menyanyi sumbang dan menengadahkan tangan tidak bisa diharapkan lagi.

Bagaimana kita membantu mereka?.
Pertama, jangan biasakan memberikan sereceh uang sisa belanja, tapi berikan lah setetes kasih. Itu lebih bermakna!
Sereceh uang sisa belanja hanyalah penawar iba sesaat saja. Sekedar pelepas diri dari rasa kasihan yang hinggap sesaat. Namun ketika hal itu terjadi, maka akan menjadi proses si anak. Si anak akan berfikir sempit dalam menjalani hidup dari jalan meminta. Mari tebus rasa kasihan dengan cara yang lebih mendidik, dan membangun, memberikan keahlian, ketrampilan, memberikan alat mereka mencari nafkah bukan meyuapinya terus menerus. Mudah-mudahan kelak mereka akan jadi pekerja keras yang berfikir untuk menggunakan alatnya sebaik mungkin. Namun jika tidak mampu lakukan hal ini, maka jangan merusak mereka dengan meberi recehan sisa belanja. Itu sudah cukup.


Kedua, merubah sistem dengan sitem yang lebih baik.
Kata bijak Umar Bin Khattab perlu kita renungi bersama yaitu: “ Kejahatan yang terorganisir/tersistem dengan baik akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir/tersistem dengan baik, sebaliknya, kebaikan yang teroganisir/tersistem dengan baik, pasti akan menghancurkan kejahatan yang tidak teroganisir/tersistem dengan baik”. Ketika kita memberikan sumbangan sereceh uang sisa belanja, itu adalah sebuah kebaikan, tapi bukan kebaikan yang terorganisir dengan baik, sementara kondisi anak-anak jalanan yang tersebar di hampir setiap sudut persimpangan jalan kota, di organisir/tersistem yang menguntungkan pihak mafia, dan mengeksploitasi anak jalanan. Bangunlah lingkungan kita, melalui kelompok-kelompok msyarakat disekitar kita, mencari solusi, membantu anak jalanan. Banyak yang masih bisa kita lakukan.

Ketiga, kerjasama semua pihak.
Kerja sama semua pihak adalah sebuah kekuatan yang ampuh untuk membersihkan secara total anak-anak jalanan di kota medan, pemerintah, tokoh agama, orang tua, organisasi saling bahu membahu. Tugas pemerintah melaksanakan, masyarakat mengarahkan kebiakan-kebijakan yang harus diambil pemerintah. Masyarakat perlu mendesak agar pemerintah bersikap tegas kepada para mafia, berpartisipasi membersihkan anak jalanan dari persimpangan jalan kota, memberikan pekerjaan yang layak dan mendidik. Dan masyarakat pun harus memberi sumbangsih yang sama.
Selamat menyambut masa depan anak Indonesia, anak Jalanan

Selasa, 21 Juni 2011

Kebiasaan buruk yang jadi trend "NGELEM" ala anak jalanan

Ngelem merupakan kata yang sangat akrab terutama bagi anak yang hidup di jalanan. Dengan ngelem mereka bisa menahan lapar, meringankan penderitaan, menghilangkan persoalan dan membuat fikiran tenang. Dan juga bisa mendapatkan apa saja yang mereka idam-idamkan, tentunya dengan khayalan. Selain bisa berhalusinasi, ngelem juga dianggap sebagai trend atau keren bagi komunitas mereka. Karena apabila tidak ngelem mereka mengatakan tidak ""gaul"" bahkan ""pengecut"" kepada bagi mereka yang tidak ngelem. Dan ngelem ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar anak jalanan di Kota Medan.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Hernan Crispo alias Batara (15th) anak jalanan yang mencari keberuntungan sebagai pengamen di Simpang Jl. Gajah Mada, Medan. ""Saya sering sekali diejek sebagai orang pengecut karena saya tidak mau ikut ngelem dengan mereka. Beberapa hari kemudian tepatnya hari Minggu, saya suntuk sekali karena adik saya yang bernama Ucok dipukuli di dearah Padang Bulan, saya sangat kesal dan marah, lalu saya turut mereka untuk ngelem. Mereka memberi saya lem sebanyak satu kaleng dan mulai menghisap lem tersebut.

Ketika saya menghisap lem tersebut, saya merasa seperti terbang dan berbagai hayalan banyak datang. Saya baru pertama kali ngelem dan rasanya kepalaku mau pecah, hidungku rasanya seperti disumbat dan mata merah. Selain itu, saya cepat sekali emosi dan saya merasa sayalah yang jago dan tak terkalahkan. Pandangan berkunang-kunang dan bayangan hitam datang mendekat dan seperti meremas-remas kepala.

Seiring dengan pengalaman Hernan Crispo alias Batara, berdasarkan data KKSP dari hasil survey terhadap kebiasaan anak jalanan dalam ngelem, ada sekitar 68,7% anak yang pernah ngelem dan itu dilakukan hingga sekarang. Dengan mengambil sampel pada tiga lokasi titik dampingan yakni Terminal Amplas, Pasar Petisah/Jl. Gajah Mada dan Jl. Juanda/Sp. Istana Plasa. Di samping menjadi sebuah kebiasaan, banyak juga dari mereka ngelem sudah merupakan sebuah ketergantungan atau kecanduan yang sangat berat. Sampai-sampai mereka tidak memperdulikan akan kebutuhan dasar mereka seperti makan, dengan semboyan biar tidak makan asalkan bisa ngelem. Dan tak jarang pula, sebahagian besar uang yang mereka peroleh dari hasil banting tulang, mulai dari ngamen, asongan, nyemir hingga pengemis, seluruhnya digunakan hanya untuk satu kata yakni ngelem.

Jika kita ingin menelusuri lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang mendasari anak khususnya anak jalanan hingga memiliki kebiasaan dan menjadi ketergantungan terhadap ngelem, ada beberapa factor. Pertama, ngelem merupakan sebagai pelarian terhadap adanya gangguan karekter pada diri anak, seperti marah, suntuk, kesal dan lain-lain di mana karakter anak mengalami gangguan. Kedua, dengan ngelem membuktikan bahwa anak diterima dalam pergaulan ataupun komunitas. Di mana seorang anak jalanan tidak ngelem akan dijuluki pengecut atau tidak gaul dan juga adanya tekanan sosiokultural seperti bangga bila ngelem. Ketiga, dengan ngelem memungkinkan untuk menghilangkan rasa lapar, kelelahan dan juga rasa sakit terhadap penyakit yang dideritanya, itu secara fisik. Dan untuk secara psikis bisa menghilangkan rasa cemas, depresi dan stress menghadapi factor social. Keempat, di samping factor-faktor yang yang tadi, bisa juga dikatakan bahwa ngelem juga merupakan perwujudan dari sifat-sifat penyimpangan dari norma-norma social yang ada.

Istilah ngelem baru dikenal oleh Anak jalanan kota Medan pada awal tahun 1996, yang mereka adopsi dari anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa. Pengadopsian ngelem itu sendiri dilakukan ketika adanya kegiatan ataupun pertemuan antara anak jalanan kota Medan dengan anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa, yang awalnya ingin tahu dan ingin coba-coba. Selain dengan kegiatan atau pertemuan tersebut, mobilitas dari anak jalanan itu sendiri juga memberikan kontribusi pengetahuan dalam mensosialisasikan ngelem kepada anak jalanan lainnya dan populer pada tahun 1998.

Ngelem itu sendiri merupakan suatu kegiatan menghirup aroma lem secara kontiniu sehingga adanya perubahan pada emosional. Kebanyakan lem yang digunakan untuk ngelem oleh anak-anak adalah lem plastik, lem perabotan dan lem alat rumah tangga.Di mana kesemuanya ini berisi bermacam-macam volatile hidrokarbon termasuk diantaranya, toluene aceton, alifatik acetat, benzine, petroleum naftat, perklorethylen, trikloretane, karbontetraklorida. Selain berisi volatile hidrokarbon, juga mengandung diethyleter, kloroform, nitrous oxyda, macam-macam aerosol, insektiside.

Bahan-bahan ini bersifat menekan system susunan saraf pusat (SSP depresstant) yang sebanding dengan efek alcohol meskipun gejalanya berbeda. Umumnya efek akut bahan ini serupa dengan inhalasi ether atau mitrous oxyda (obat anastesi/bius umum) yang berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala tapi masih dapat mengontrol pendapatnya. Sesudah itu ia akan merasa sejahtera, waham besar dan waktu ""high"" ini ada yang melakukan tindakan antisocial dan tindakan impulsive dan agressif. Kalau ini berkelanjutan maka akan timbul gejala psikotik akut seperti delirium, eksitasi, disorientasi, waham yang lebih jelas, halusinasi dengan kesadaran berkabut, dan amnesia.

Dengan menghirup bahan ini seseorang bisa kehilangan kesadaran. Lamanya efek ini sekitar 15 menit sampai beberapa jam. Kalau dosisnya petroleum dan toluene besar, akan meniimbulkan kejang-kejang, koma, dan bahkan kematian. Kematian bisa terjadi kerena kecelakaan, seperti kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang berada di kantong plastik. Dimana sewaktu menghirup telah kehilangan kesadaran.

Jadi, jelaslah bahwa ngelem merupakan suatu masalah yang sangat serius dan harus segera ditanggulangi, karena bisa berakibat buruk bagi kesehatan mereka. Artinya disini perluh sebuah institusi yang secara maksimal menangani persoalan ini, dalam hal ini Negara. Dalam konteks ini Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah apakah itu legislative, administrative, social dan pendidikan untuk melindungi, mencegah anak dari penyalahgunaan zat aditif. Disebut demikian karena di dalam lem tersebut terkandung zat inhalasi ether atau mitrous oxyda yang lazim disebut sebagai obat anastesi atau bius umum.

Fakta menunjukkan, memang belum ada langkah-langkah ataupun upaya-upaya yang dilakukan Negara untuk melindungi dan mencegah terhadap anak jalanan yang ngelem, walaupun hal itu sudah berlangsung lebih dari empat tahun. Apakah ini menunjukkan sebuah sikap ketidakpedulian atau memang ini dianggap bukan sebagai masalah.

Selain keluarga sebagai institusi terkecil dari proses pembinaan si anak itu sendiri memiliki posisi sentral. Di mana peran keluarga memiliki kontribusi yang cukup signifikan di dalam memberikan peluang anak-anak untuk ngelem. Hal ini didasari bahwa, hampir seluruh anak jalanan yang ngelem berasal dari keluarga yang hancur. Di samping broken home peran kontrol dari keluarga juga tidak kelihatan, di mana orang tua tidak terlalu peduli jika anaknya kecanduan atau ketergantungan terhadap lem dan mereka menganggap ini merupakan masalah yang lumrah.

Selain keluarga sebagai pilar utama yang bertanggungjawab atas si anak, masyarakat juga memiliki peran yang sama. Tapi, sampai sejauh ini peran tersebut belum juga dimainkan oleh sebagian besar masyarakat. Mungkin lebih spesifiknya, kepedulian yang dimunculkan belum ada sama sekali terhadap anak jalanan yang ngelem, minimal dengan ungkapan pecegahan.