Rabu, 22 Juni 2011

Fenomena Anak Jalanan di Kota Medan

Kota Medan merupakan salah satu Kota besar yang ada di Indonesia. Padatnya penduduk, kemacetan lalu lintas dan laju mobilitas masyarakat yang tinggi menjadi keseharian yang ada di Kota Medan. Sebagai salah satu Kota besar, Medan juga memeliki problematika yang sama dengan kota-kota lainnya. Fenomena yang sering menginggapi hampir di semua kota besar. Yaitu Fenomena anak jalanan.

Jumlah anak-anak jalanan di Kota Medan semakin hari semakin meningkat, jika pada kuwartal awal abad millenium yang lalu hanya ada 3-5 orang anak jalanan di beberapa sudut kota tertentu, sekarang hampir di setiap sudut persimpangan kota Medan, dibawah gemerlap mewah lampu dan tempat-tempat ramai, dengan mudah dapat kita temukan mereka dan jumlahnya puluhan.

Melihat jumlah anak jalanan yang semakin banyak di Kota Medan, ada bebrapa faktor yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan di Kota Medan. Dari sebuah penelitian yang dilakukan Oleh Heriana Siregara (Mahasiswa Program Magister Studi Perbandingan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara), pada tahun 2010 yang lalu dengan mengambil sampel 250 anak jalanan yang terdapat di lima titik lokasi, yaitu sekitar Terminal Terpadu Amplas, Terminal Pinang Baris, Bundaran Majestik, Simpang Seikambing dan Simpang Ramayana-Aksara. Mendapatkan hasil bahwa Faktor yang menjadikan seorang anak menjadi anak jalanan adalah : Kemiskinan keluarga, kehidupan sosial keluarga dan disorganisasi keluarga. Dari Variabel-variabel yang telah diukur, maka faktor kemiskinan keluarga merupakan faktor yang dominan dalam melahirkan anak jalanan di Kota Medan.


Apakah pemerintah selama ini hanya diam saja?, apakah tidak ada yang tergerak untuk membantu?. Beberapa program pemerintah coba melakukan upaya penyelamatan anak-anak bangsa ini, beberapa LSM, juga melakukan hal yang sama. Namun mengapa kian hari kian bertambah?

Anak jalanan adalah kelompok masyarakat kota yang termarginalkan. Dan sebagai anggota masyarakat, mereka juga berhak diayomi negara, dipastikan kesejahteraan dan pendidikannya, bagaimanapun, anak jalanan adalah calon-calon penerus bangsa kedepan, yang jika dibiarkan terus ada, kelak jika mereka dewasa semakin memberi beban kepada masyarakat dan negara.

Gaya hidup anak jalanan mendidik mereka untuk menjual rasa iba, sejak dini, melahirkan mental-mental rusak yang semakin kental ketika mereka dewasa nantinya. Dan jika hal ini terjadi, akan melahirkan semakin banyak penyakit sosial, dan tingkat-tingkat kriminalitas di masyarakat. Anak-anak yang jalanan yang masih belia, kelak akan terpengaruh teman-temannya untuk nge”lem” atau nge”boat”, dan pipi bulatnya akan cekung, binar matanya akan meredup, tubuh kecilnya akan layu, kurus kering oleh narkoba. Sekolah hanya jadi tempat membosankan dan membingungkan saja, sementara para mafia yang bisa jadi orang tua mereka sendiri justru memanfaatkan mereka. Dan ketika si anak semakin dewasa, kebutuhan semakin bertambah, sementara keterampilan yang dipunyai hanya menyanyi sumbang dan menengadahkan tangan tidak bisa diharapkan lagi.

Bagaimana kita membantu mereka?.
Pertama, jangan biasakan memberikan sereceh uang sisa belanja, tapi berikan lah setetes kasih. Itu lebih bermakna!
Sereceh uang sisa belanja hanyalah penawar iba sesaat saja. Sekedar pelepas diri dari rasa kasihan yang hinggap sesaat. Namun ketika hal itu terjadi, maka akan menjadi proses si anak. Si anak akan berfikir sempit dalam menjalani hidup dari jalan meminta. Mari tebus rasa kasihan dengan cara yang lebih mendidik, dan membangun, memberikan keahlian, ketrampilan, memberikan alat mereka mencari nafkah bukan meyuapinya terus menerus. Mudah-mudahan kelak mereka akan jadi pekerja keras yang berfikir untuk menggunakan alatnya sebaik mungkin. Namun jika tidak mampu lakukan hal ini, maka jangan merusak mereka dengan meberi recehan sisa belanja. Itu sudah cukup.


Kedua, merubah sistem dengan sitem yang lebih baik.
Kata bijak Umar Bin Khattab perlu kita renungi bersama yaitu: “ Kejahatan yang terorganisir/tersistem dengan baik akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir/tersistem dengan baik, sebaliknya, kebaikan yang teroganisir/tersistem dengan baik, pasti akan menghancurkan kejahatan yang tidak teroganisir/tersistem dengan baik”. Ketika kita memberikan sumbangan sereceh uang sisa belanja, itu adalah sebuah kebaikan, tapi bukan kebaikan yang terorganisir dengan baik, sementara kondisi anak-anak jalanan yang tersebar di hampir setiap sudut persimpangan jalan kota, di organisir/tersistem yang menguntungkan pihak mafia, dan mengeksploitasi anak jalanan. Bangunlah lingkungan kita, melalui kelompok-kelompok msyarakat disekitar kita, mencari solusi, membantu anak jalanan. Banyak yang masih bisa kita lakukan.

Ketiga, kerjasama semua pihak.
Kerja sama semua pihak adalah sebuah kekuatan yang ampuh untuk membersihkan secara total anak-anak jalanan di kota medan, pemerintah, tokoh agama, orang tua, organisasi saling bahu membahu. Tugas pemerintah melaksanakan, masyarakat mengarahkan kebiakan-kebijakan yang harus diambil pemerintah. Masyarakat perlu mendesak agar pemerintah bersikap tegas kepada para mafia, berpartisipasi membersihkan anak jalanan dari persimpangan jalan kota, memberikan pekerjaan yang layak dan mendidik. Dan masyarakat pun harus memberi sumbangsih yang sama.
Selamat menyambut masa depan anak Indonesia, anak Jalanan

Selasa, 21 Juni 2011

Kebiasaan buruk yang jadi trend "NGELEM" ala anak jalanan

Ngelem merupakan kata yang sangat akrab terutama bagi anak yang hidup di jalanan. Dengan ngelem mereka bisa menahan lapar, meringankan penderitaan, menghilangkan persoalan dan membuat fikiran tenang. Dan juga bisa mendapatkan apa saja yang mereka idam-idamkan, tentunya dengan khayalan. Selain bisa berhalusinasi, ngelem juga dianggap sebagai trend atau keren bagi komunitas mereka. Karena apabila tidak ngelem mereka mengatakan tidak ""gaul"" bahkan ""pengecut"" kepada bagi mereka yang tidak ngelem. Dan ngelem ini sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian besar anak jalanan di Kota Medan.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Hernan Crispo alias Batara (15th) anak jalanan yang mencari keberuntungan sebagai pengamen di Simpang Jl. Gajah Mada, Medan. ""Saya sering sekali diejek sebagai orang pengecut karena saya tidak mau ikut ngelem dengan mereka. Beberapa hari kemudian tepatnya hari Minggu, saya suntuk sekali karena adik saya yang bernama Ucok dipukuli di dearah Padang Bulan, saya sangat kesal dan marah, lalu saya turut mereka untuk ngelem. Mereka memberi saya lem sebanyak satu kaleng dan mulai menghisap lem tersebut.

Ketika saya menghisap lem tersebut, saya merasa seperti terbang dan berbagai hayalan banyak datang. Saya baru pertama kali ngelem dan rasanya kepalaku mau pecah, hidungku rasanya seperti disumbat dan mata merah. Selain itu, saya cepat sekali emosi dan saya merasa sayalah yang jago dan tak terkalahkan. Pandangan berkunang-kunang dan bayangan hitam datang mendekat dan seperti meremas-remas kepala.

Seiring dengan pengalaman Hernan Crispo alias Batara, berdasarkan data KKSP dari hasil survey terhadap kebiasaan anak jalanan dalam ngelem, ada sekitar 68,7% anak yang pernah ngelem dan itu dilakukan hingga sekarang. Dengan mengambil sampel pada tiga lokasi titik dampingan yakni Terminal Amplas, Pasar Petisah/Jl. Gajah Mada dan Jl. Juanda/Sp. Istana Plasa. Di samping menjadi sebuah kebiasaan, banyak juga dari mereka ngelem sudah merupakan sebuah ketergantungan atau kecanduan yang sangat berat. Sampai-sampai mereka tidak memperdulikan akan kebutuhan dasar mereka seperti makan, dengan semboyan biar tidak makan asalkan bisa ngelem. Dan tak jarang pula, sebahagian besar uang yang mereka peroleh dari hasil banting tulang, mulai dari ngamen, asongan, nyemir hingga pengemis, seluruhnya digunakan hanya untuk satu kata yakni ngelem.

Jika kita ingin menelusuri lebih jauh lagi, apa sebenarnya yang mendasari anak khususnya anak jalanan hingga memiliki kebiasaan dan menjadi ketergantungan terhadap ngelem, ada beberapa factor. Pertama, ngelem merupakan sebagai pelarian terhadap adanya gangguan karekter pada diri anak, seperti marah, suntuk, kesal dan lain-lain di mana karakter anak mengalami gangguan. Kedua, dengan ngelem membuktikan bahwa anak diterima dalam pergaulan ataupun komunitas. Di mana seorang anak jalanan tidak ngelem akan dijuluki pengecut atau tidak gaul dan juga adanya tekanan sosiokultural seperti bangga bila ngelem. Ketiga, dengan ngelem memungkinkan untuk menghilangkan rasa lapar, kelelahan dan juga rasa sakit terhadap penyakit yang dideritanya, itu secara fisik. Dan untuk secara psikis bisa menghilangkan rasa cemas, depresi dan stress menghadapi factor social. Keempat, di samping factor-faktor yang yang tadi, bisa juga dikatakan bahwa ngelem juga merupakan perwujudan dari sifat-sifat penyimpangan dari norma-norma social yang ada.

Istilah ngelem baru dikenal oleh Anak jalanan kota Medan pada awal tahun 1996, yang mereka adopsi dari anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa. Pengadopsian ngelem itu sendiri dilakukan ketika adanya kegiatan ataupun pertemuan antara anak jalanan kota Medan dengan anak jalanan di kota-kota di Pulau Jawa, yang awalnya ingin tahu dan ingin coba-coba. Selain dengan kegiatan atau pertemuan tersebut, mobilitas dari anak jalanan itu sendiri juga memberikan kontribusi pengetahuan dalam mensosialisasikan ngelem kepada anak jalanan lainnya dan populer pada tahun 1998.

Ngelem itu sendiri merupakan suatu kegiatan menghirup aroma lem secara kontiniu sehingga adanya perubahan pada emosional. Kebanyakan lem yang digunakan untuk ngelem oleh anak-anak adalah lem plastik, lem perabotan dan lem alat rumah tangga.Di mana kesemuanya ini berisi bermacam-macam volatile hidrokarbon termasuk diantaranya, toluene aceton, alifatik acetat, benzine, petroleum naftat, perklorethylen, trikloretane, karbontetraklorida. Selain berisi volatile hidrokarbon, juga mengandung diethyleter, kloroform, nitrous oxyda, macam-macam aerosol, insektiside.

Bahan-bahan ini bersifat menekan system susunan saraf pusat (SSP depresstant) yang sebanding dengan efek alcohol meskipun gejalanya berbeda. Umumnya efek akut bahan ini serupa dengan inhalasi ether atau mitrous oxyda (obat anastesi/bius umum) yang berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala tapi masih dapat mengontrol pendapatnya. Sesudah itu ia akan merasa sejahtera, waham besar dan waktu ""high"" ini ada yang melakukan tindakan antisocial dan tindakan impulsive dan agressif. Kalau ini berkelanjutan maka akan timbul gejala psikotik akut seperti delirium, eksitasi, disorientasi, waham yang lebih jelas, halusinasi dengan kesadaran berkabut, dan amnesia.

Dengan menghirup bahan ini seseorang bisa kehilangan kesadaran. Lamanya efek ini sekitar 15 menit sampai beberapa jam. Kalau dosisnya petroleum dan toluene besar, akan meniimbulkan kejang-kejang, koma, dan bahkan kematian. Kematian bisa terjadi kerena kecelakaan, seperti kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang berada di kantong plastik. Dimana sewaktu menghirup telah kehilangan kesadaran.

Jadi, jelaslah bahwa ngelem merupakan suatu masalah yang sangat serius dan harus segera ditanggulangi, karena bisa berakibat buruk bagi kesehatan mereka. Artinya disini perluh sebuah institusi yang secara maksimal menangani persoalan ini, dalam hal ini Negara. Dalam konteks ini Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah apakah itu legislative, administrative, social dan pendidikan untuk melindungi, mencegah anak dari penyalahgunaan zat aditif. Disebut demikian karena di dalam lem tersebut terkandung zat inhalasi ether atau mitrous oxyda yang lazim disebut sebagai obat anastesi atau bius umum.

Fakta menunjukkan, memang belum ada langkah-langkah ataupun upaya-upaya yang dilakukan Negara untuk melindungi dan mencegah terhadap anak jalanan yang ngelem, walaupun hal itu sudah berlangsung lebih dari empat tahun. Apakah ini menunjukkan sebuah sikap ketidakpedulian atau memang ini dianggap bukan sebagai masalah.

Selain keluarga sebagai institusi terkecil dari proses pembinaan si anak itu sendiri memiliki posisi sentral. Di mana peran keluarga memiliki kontribusi yang cukup signifikan di dalam memberikan peluang anak-anak untuk ngelem. Hal ini didasari bahwa, hampir seluruh anak jalanan yang ngelem berasal dari keluarga yang hancur. Di samping broken home peran kontrol dari keluarga juga tidak kelihatan, di mana orang tua tidak terlalu peduli jika anaknya kecanduan atau ketergantungan terhadap lem dan mereka menganggap ini merupakan masalah yang lumrah.

Selain keluarga sebagai pilar utama yang bertanggungjawab atas si anak, masyarakat juga memiliki peran yang sama. Tapi, sampai sejauh ini peran tersebut belum juga dimainkan oleh sebagian besar masyarakat. Mungkin lebih spesifiknya, kepedulian yang dimunculkan belum ada sama sekali terhadap anak jalanan yang ngelem, minimal dengan ungkapan pecegahan.